Sunday, June 27, 2010
Berhentilah menjadi gelas
Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.” Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.
“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.” Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin. “Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru. “Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis. Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan.
“Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa muridnya ke telaga di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke telaga.” Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke telaga, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan guru, begitu pikirnya.
“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir telaga. Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air telaga, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air telaga yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya?” “Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya.
Tentu saja, telaga ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air telaga ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.
“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?” tanya sang guru “Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air telaga sampai puas.
“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.” Si murid terdiam, mendengarkan.
“Tapi Nak, rasa `asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya hati yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan hati dalam dadamu menjadi seluas telaga agar kau bisa menikmati hidup”
Wednesday, June 23, 2010
Teh Botol SOSRO
Teh Botol SOSRO
Seni dan Intuisi yang menuntun pada kesuksesan
Coca cola dan pepsi adalah brand internasional untuk minuman ringan yang sudah tidak asing di telinga kita. Kekuatan branding yang dahsyat terus dibangun sehingga produk mereka telah menjadi bagian dari hidup bangsa kita. Indonesia dengan segala potensinya menjadi pasar empuk bagi produk yang dihasilkan. Namun ada satu produk membanggakan dari Indonesia yang mampu “menghajar” kekuatan kapitalis itu. Dialah the Botol Sosro.
Sebelum Sosro hadir, konon ada sebuah perusahaan asing yang ingin mengeluarkan produk teh dalam kemasan botol seperti yang dilakukan sosro saat ini. Kala itu sang perusahaan menyewa jasa sebuah biro riset pemasaran untuk menguji kelayakan bisnis dan prospek produk tersebut di Indonesia. Setelah dilakukan riset penelitian dan mengamati kebiasaan minum teh di masyarakat Indonesia, sang biro riset pun menyimpulkan bahwa produk ini tidak memiliki prospek bagus untuk dipasarkan di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa budaya minum teh di Indonesia umumnya dilakukan di lakukan di pagi hari, disajikan hangat didalam cangkir. Sehingga kehadiran teh dalam kemasan botol justru akan dianggap hal yang aneh.
Sosrodjojo, sang pendiri perusahaan sosro, tidak memperdulikan riset riset pemasaran. Ia hanya mengikuti intuisi bisnisnya dan berpikir sebaliknya. Awalnya, Sosro mendapati pengalaman menarik dari tes cicip di pasar tradisional terhadap teh tubruk cap botol. Ia pun menggunakan cara yang sama dengan melakukan demonstrasi teh yang langsung diseduh di tempat dan disajikan pada calon konsumen yang menyaksikan. Namun cara tersebut memakan waktu lama sehingga calon konsumen cenderung meninggalkan tempat. Kemudian pada uji berikutnya dilakukan perubahan cara dengan menciptakan teh yang telah diseduh dari pabrik dan kemudian dimasukkan ke dalam tong-tong dan dibawa dengan mobil. Akan tetapi cara ini ternyata membuat banyak teh tumpah selama perjalanan karena saat itu struktur jalan belum sebaik sekarang. Lalu sosro mencoba untuk memasukkan teh ke dalam kemasan botol limun agar mudah dibawa. Dan akhirnya ia mendapati bahwa penggunaan kemasan botol adalah alternatif yang paling praktis dalam menghadirkan kenikmatan teh langsung ke konsumen.
Pada awalnya, sosro menargetkan kepada konsumen yang sering melakukan perjalanan seperti pelancong, supir dan pejalan kaki. Sosro menyadari bahwa segmen konsumen mengingikan hadirnya minuman siap saji yang dapat menghilangkan dahaga di tengah kelelahan dan kondisi panas selama perjalanan. Atribut kepuasan ini dicoba dipenuhi dengan menghadirkan minuman teh dalam kemasan botol yang praktis dan tersedia di kios-kios sepanjang jalan. Untuk menambah nilai kepuasan teh botol ini disajikan dingin dengan menyediakan boks-boks es pada titik-titik penjualannya (pada saat itu penggunaan kulkas masih belum lazim).
Namun tentu saja merubah kebiasaan tak semudah membalik telapak tangan . Pada masa-masa awal peluncurannya, teh botol sosro tidak banyak dilirik konsumen. Mereka justru menganggap aneh produk ini karena dikemasan dalam botol dengan penyajiannya yang dingin. Di tengah berbagai hambatan itu, Sosro terus melakukan inovasi pemasaran dengan terus mengedukasi pasarnya melalui iklan-iklan di berbagai media dan promosi-promosi on the spot. Secara konsisten sosro melakukan branding pasar serta menjaga kualitas rasa dan heritage produknya baik logo maupun tampilan kemasannya sejak tahun 1970. Perlahan tapi pasti produk teh botol sosro mulai mendapatkan tempat di hati konsumen Indonesia. Sosro pun melakukan terobosan lebih dalam untuk pemasarannya dengan menciptakan stategi Iklan yang cerdas dan mengena di kehidupan masyarakat dengan memunculkan slogan "Apapun makanannya, minumnya teh botol sosro". Slogan ini langsung melekat di hati masyarakat sehingga mampu mengatrol omset penjualan teh botol sosro dan mengguncang produk minuman secara keseluruhan.
Melihat pertumbuhan teh botol sosro yang fantastis, bahkan menggoyahkan perusahaan multinational sekaliber Pepsi dan Coca cola untuk ikut masuk dengan meluncurkan produk teh Tekita dan Frestea. Sosro tak bergeming, alih-alih merubah produknya, dengan cerdas sosro justru melakukan counter branding dengan mengeluarkan produk S-tee dengan volume yang lebih besar. Strategi ini ternyata lebih tepat, kedua perusahaan multinasional itu pun tak berhasil berbuat banyak untuk merebut hati konsumen Indonesia.
Secuil kisah sosro memberikan inspirasi pada kita betapa ilmu pemasaran bukan hanya didasarkan pada knowledge yang hebat yang bahkan hal itu hanya berkontribusi kecil pada kesuksesan. Namun seni dan intuisi lah yang mampu memandu pemasar mendapatkan hasil yang istimewa diluar dugaan. Dan apabila kesemuanya itu digabungkan akan menghasilkan pemasar yang jenius yang mampu berpikir dan bertindak diluar batasan batasan yang ada. Mungkin hanya ada sedikit orang yang mampu melakukan itu di dunia ini, namun tiap masa memiliki generasinya sendiri dan mungkin diantara orang itu kitalah salah satunya.